Falsafah Orang Minangkabau
Orang suku Minangkabau, yaitu orang yang tinggal atau berasal dari daerah sekitar provinsi Sumatera Barat
mempunyai falsafah (prinsip) hidup yang menarik, seperti belajar dari pengalaman, selalu berusaha
mengatasi permasalahan, memanfaatkan sumber yang ada, dan lain-lain. Falsafah hidup ini bisa kita
simak dari ungkapan atau pepatan adat yang sudah hidup sejak lama.
Untuk mengenal lebih lanjut, mari kita cermati satu persatu.
- Belajar dari pengalaman
Ada ungkapan 'Mancaliak contoh ka nan sudah, mancaliak tuah ka nan manang, alam takambang jadi guru'.
Terjemahan bebasnya adalah belajarlah dari pengalaman yang sudah terjadi, belajarlah dari karakter
atau kompetensi yang dipunyai oleh para pemenang, belajarlah dari alam yang terbentang.
Bukankah ungkapan itu suatu resep yang sangat bagus, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh para
motivator handal ?
Bukankah ada ungkapan 'Kegagalan adalah sukses yang tertunda' ? Kegagalan bisa
berubah jadi suatu kesuksesan kalau kita bisa belajar mengenai apa yang salah dalam peristiwa kegagalan
sebelumnya.
Kenapa orang bersekolah atau mengikuti suatu pelatihan ? Tidak lain adalah untuk mendapatkan ilmu atau
kiat-kiat dari orang yang sudah berhasil (menjadi pemenang).
Selain menguasai kompentensi untuk mencapai tujuan, segala sesuatu yang dilakukan harus selaras dengan
prinsip kelestarian alam untuk pemanfaatan maksimal semua manusia, jangan keberhasilan di suatu
bidang membawa petaka / mudharat ke pihak lain.
- Selalu berusaha, jangan berputus asa
Barangkali anda sudah pernah mendengar orang Minang itu 'Taimpik nak diateh, takuruang nak dilua'.
Terjemahan bebasnya 'apabila terhimpit maunya bisa berada diatas, apabila terkurung maunya bisa
berasa diluar'.
Mungkin ada yang mempersepsikan secara negatif sebagi sikap licik.
Tapi
secara positif hal itu tentunya sangat bagus, artinya apabila kita mengalami yang tidak sesuai
dengan keinginan, kita harus berusaha keras(tentunya melalui jalan yang baik dan halal) mengatasi
hal itu sehingga keadaan bisa berubah menjadi seperti apa yang kita inginkan.
- Managemen sumber daya
Ungkapan lain adalah 'Nan buto pa ambuih lasuang, nan lumpuah pa alau ayam, nan pakak palapeh badia,
nan binguang kadisuruah-suruah, nan cadiak bao baiyo, nan kayo tampek batenggang'.
Terjemahan bebasnya 'yang buta tugaskan menghembus lesung (untuk membersihkan debu), yang lumpuh
tugaskan untuk menjaga jemuran padi guna menghalau ayam yang datang memakan padi, yang kupingnya
tuli beri tugas untuk menembakkan senapan atau meriam, yang pintar ajak memikirkan permasalahan,
yang mempunyai banyak harta bisa untuk solusi ekonomi yang mendesak'.
Bukankah ungkapan tersebut menegaskan prinsip managemen sumber daya manusia sesuai dengan kelebihan
dan kekurangan masing orang sehingga dapat tercapai tujuan dengan cara efektif.
- Kompetensi
Orang yang bisa diangkat jadi pemimpin (didalam adat disebut 'pangulu' atau penghulu) haruslah
'Tahu di ereang dengan gendeang, tahu di ujuang kato sampai, alun bakilek lah bakalam, takilek
ikan dalam aia lah tantu jantan batinonyo'. Terjemahan bebasnya 'bisa membaca situasi atau gelagat,
bisa memengerti apa yang disampaikan orang, bisa menangkap pesan yang tersirat'.
Ungkapan ini menyiratkan suatu acuan kompetensi yang setiap orang harus berusaha mencapainya
agar menjadi orang yang diperhitungkan dalam pergaulan.
- Peduli kepada sesama
Ada pantun yang berbunyi :
Kaluak paku kacang balimbiang
Tampuruang lenggang-lenggangkan
Anak dipangku kamanakan dibimbiang
Urang kampuang dipatenggangkan
Intinya 'selain mengurus anak sendiri, juga ada tanggung jawab untuk mengurus "kamanakan" (keponakan),
dan kepada masyarakat juga harus punya tanggung jawab sosial'.
- Jangan menyombongkan diri
Orang tua Minang akan menasehati agar 'bakato dibawah-bawah, mandi dihilia-hilia'. Artinya hendaklah
'kalau berbicara jangan meninggi, kalau mandi di sungai hendaklah disebelah hilir dari orang lain'.
Tentu maksudnya jangan menyombongkan diri, baik dalam berkata-kata, maupun dalam perbuatan.
- Pergilah merantau
Ada sebuah pantun yang menyirat anjuran merantau, yaitu
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantau dagang dahulu
Di rumah paguno balun
Maksud dari anjuran yang tersirat dalam pantun diatas adalah 'pergilah merantau untuk belajar dan
meluaskan wawasan dalam menghadapi kehidupan', sehingga setelah kembali dari rantau seseorang akan
mempunyai kompetensi yang dibutuhkan untuk hidup dalam masyarakat.
Kalaupun sekarang orang Minang ternyata banyak sekali yang tidak pulang-pulang dan malah menetap
dirantau, barangkali hanya merupakan bentuk penyesuaian terhadap situasi. Wilayah kampung halaman
mungkin sudah tidak cukup lagi untuk menampung seluruh kaum muda yang terus bertambah, atau
karena di rantau ada kesempatan (opportunity) yang lebih baik.
- Mudah bersatu kembali
Sifat orang Minang yang mudah untuk menjaga persatuan disebut dengan ungkapan 'cabiak-cabiak
bulu ayam'. Artinya kalaupun sempat terjadi perpecahan didalam masyarakat, hendaknya situasi
itu tidak berlarut-larut, tapi segera dicari perdamaian; seperti bulu ayam yang sempat terbelah, hanya
dengan mengusap akan rapi kembali.
- Solidaritas sosial
Masyarakat Minang hendaknya mempunyai solidaritas sosial yang tinggi, seperti ungkapan '
kaba baiak baimbauan, kaba buruak bahamburan'. Artinya kalau merayakan suatu hal yang membahagiakan
hendaklah mengundang tetangga dan handai tolan, tapi apabila terjadi musibah pada seorang anggota
masyarakat, tanpa ada yang mengajakpun, masyarakat akan datang memberikan bantuan.
Demikianlah beberapa falsafah hidup yang sangat indah kalau bisa dilaksanakan oleh orang suku Minangkabau
akan membawa kebaikan yang besar. Prinsip-prinsip itu merupakan nilai-nilai universal. Siapapun yang mau menggunakan falsafah tersebut akan mendapatkan
manfaat, baik secara pribadi, maupun sebagai masyarakat.
Memang di Minangkabau nilai-nilai disebut sebagai 'Adaik basandi syarak, syarak basandi kibullah', artinya
'Adat berdasarkan kepada agama, dan agama berdasarkan kepada firman Allah'.
Semoga bermanfaat.